Rabu, 04 November 2015


MEMBONGKAR AKAR MASALAH BIDIK MISI
Oleh Arif Habibi

Pendidikan merupakan salah satu hak mutlak bagi tiap orang.Hak tentang pendidikan tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang bebunyi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.Artinya negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan terhadap seluruh warga negaranya.Atas tanggung jawab tersebut,pemerintah melalui Kementerian Riset,Teknologi dan Pendidikan Tinggi menggelontorkan sejumlah dana APBN untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu melalui Bidik Misi.
Dengan harapan untuk dapat memberikan kesempatan pendidikan setinggi-tingginya kepada seluruh rakyat,pemerintah rela  menyumbangkan trilyunan dana APBN kepada puluhan ribu mahasiswa ekonomi lemah.Program ini layak diacungi jempol karena kehadirannya yang  mampu membawa angin segar bagi mahasiswa dan dapat mendongkrak minat pendidikan masyarakat.Namun program yang digadang-gadang mampu membawa perubahan di masa depan ini juga tidak luput dari cacat.
Program pemerintah yang baru dijalankan 5 tahun yang lalu ini meninggalkan banyak masalah yang ‘berceceran’. Bila ditelusuri ke belakang,maka akan muncul permasalahan yang rumit seperti ketidakkompetennya mahasiswa Bidik Misi,sistem manajemen yang kusut,dan seleksi yang tidak tepat.Jika dibiarkan,hal ini berpotensi akan menimbulkan masalah baru yang lebih global seperti Korupsi,Kepincangan sosial hingga mengancam masa depan generasi penerus bangsa.Lama-kelamaan,Bidik Misi yang asal-asalan akan menjadi ‘bom waktu’ disaat kerusakan bangsa dikarenakan oleh tingkah rakyatnya sendiri.
Untuk menemukan permasalahan bidik misi tidaklah sulit.Jika kita mencari di Google.com dengan keyword “Permasalahan Bidikmisi” maka akan muncul setumpuk artikel yang mengulas mengenai pahit getirnya program ini.Pangkal masalah bidik misi bermula dari anggapan bahwa semakin banyak mahasiswa suatu Perguruan Tinggi,maka semakin berkualitas Perguruan Tinggi tersebut. Ibarat sebuah mantra kutukan,anggapan yang tidak tepat ini akan memunculkan buntut permasalahan,karena berdasarkan UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa semua perguruan tinggi yang bekerja sama dalam program Bidikmisi harus menyediakan setidaknya 20 persen dari keseluruhan jumlah mahasiswa baru.Alhasil,lembaga Perguruan Tinggipun harus memutar otak untuk mengisi kuota mahasiswa Bidikmisinya.
Melonggarkan proses seleksi maupun proses verifikasi dilakukan sebagai taktik untuk memenuhi kuota yang telah ditentukan.Mata rantai masalah terus berlanjut.Sistem seleksi yang asal-asalan  akan menciptakan calon mahasiswa penerima bidik misi yang tidak tepat sasaran.Akhirnya,hal ini hanya akan menimbulkan efek domino dengan munculnya paradigma negatif dari banyak pihak mengenai gagalnya program yang menelan banyak dana anggaran ini.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa program Bidik misi merupakan program pertisius yang dapat mengubah nasib bangsa di masa yang akan datang.Akan tetapi untuk mewujudkannya perlu penanganan yang serius dan peran serta banyak kalangan.Kita hanya bisa berharap semoga semua pihak yang terkait dapat berintropeksi diri dan saling membenahi agar program Bidikmisi ini dapat benar-benar mensejahterakan rakyat Indonesia sesuai slogannya “Menggapai asa, memutus rantai kemiskinan”

0 komentar:

Posting Komentar