Senin, 14 Mei 2018


Perempuan Mandiri: Perempuan Masa Kini
Berabad-abad lalu perempuan erat kaitannnya dengan kaum lemah yang ditakdirkan untuk hidup sebagai pemeran figuran dan pendukung kaum laki-laki. Sejak dahulu, perempuan dianggap sebagai gender yang mewarisi takdir utuk hidup mengurus rumah tangga dengan dibatasi pada akses pendidikan, ekonomi dan jabatan pemerintahan. Adat istiadat masa lalu membatasi para perempuan untuk tidak belajar, tidak boleh bekerja diluar rumah serta menduduki jabatan penting di masyarakat.
Kesan lemahnya kaum perempuan terdapat dalam berbagai tradisi kebudayaan kuno tanah air. Dalam filosofi jawa, Sejak berabad-abad perempuan di Pulau Jawa hanya difungsikan sebagai reproduksi dan pemuas nafsu seksual, serta dianggap sebaga pelengkap keberadaan laki-laki. Ungkapan di masyarakat bahwa aktivitas perempuan hanya seputar sumur, dapur dan kasur. Ungkapkan oleh masyarakat Pantura Jawa Barat bahwa “tong luhur-luhur teuing sakola, awewe mah da ka dapur oge. Bentuk kekerabatan masyarakat Aceh adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan laki-laki (patriarki). Sistem perkawinan yang berlaku di sebagian adalah  jodoh dari luar merge sendiri. Setelah menikah, berlaku aturan virilokal, yaitu pasangan menetap di kediaman keluarga laki-laki.
Masyarakat Batak Toba didasari atas garis keturunan patriarkal. Masyarakat Batak Toba sangat menjunjung tinggi dengan tradisi patriarkal  menempatkan posisi perempuan sangat dihargai apabila mampu melahirkan anak laki-laki dan dianggap rendah apabila tidak melahirkan anak laki-laki karena tidak dapat mengabadikan marga.
Perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki, dan perempuan bukan merupaka individu yang bebas dan otonom, namun sebagai sub-ordinat atau perpanjangan tangan laki-laki. Sistem patriarki yang ada di masyarakat Batak tidak membuat peran  perempuan di Suku Batak tidak penting.
Klasifikasi peran dalam adat dan budaya masyarakat Minangkabau menganut sosial kemasyarakatan dan penentuan kepala masyarakat hukum adat yang disebut Penghulu  Datuk didominasi oleh kaum laki-laki. Sistem “matrilocal” atau lazim disebut dengan sistem “uxorilocal” yang menetapkan bahwa suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Pandangan Gender dalam Budaya Suku Minangkabau. Dan apabila terjadi perceraian, maka suami harus pergi dari rumah istrinya, sedangkan istrinya tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Apabila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda untuk dibawa kembali ke dalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya.
Sedangkan di suku Madura, adat dan budaya didasari oleh sitem patriarki dengan menempatkan peran perempuan yang sudah menikah sebagai ibu rumahtangga, sekaligus pengasuh dan pembimbing anak-anaknya. Posisi perempuan Madura tetap menggantungkan psikologisnya kepada keluarga: tidak diperbolehkan mengambil keputusan penting dalam kehidupannya tanpa berkonsultasi dengan orangtua dan orang-orang penting dalam keluarga
Budaya Suku Timor didasarkan atas 2 (dua) garis keturunan, sistem perkawinan patrilineal dan sistem matrilineal. Sistem yang dominan adalah sistem
patrilineal. Sistem patrilineal mengatur bahwa anak laki-lakilah yang berhak menerima warisan, sementara anak perempuan mendapat bagian sejauh diberi kesempatan oleh anak laki-laki. Posisi perempuan dalam sistem parilineal masih terlihat terpinggirkan. Khususnya dalam hal pengambilan keputusan pada musyawarah suku, kaum perempuan tidak memiliki hak atau tidak diberi kesempatan untuk hadir apalagi berpendapat
Suku Sumba didasari oleh budaya patriarki yang mengutamakan laki-laki sebagai pihak yang menguasai dan perempuan sebagai pihak yang dikuasai. Sistem paternalistik yang sangat kuat ini ditunjukkan oleh adanya sistem pembagian warisan harta benda, yaitu anak laki-laki dapat menerima warisan harta benda langsung dari kakeknya tanpa harus melalui ayah dari anak laki-laki tersebut Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sumba. Posisi perempuan sangat lemah pada budaya Suku Sumba yang dicerminkan bahwa anak perempuan tidak perlu disekolahkan setinggi-tingginya apabila dalam sebuah keluarga ada anak laki-laki

Tradisi pengekangan perempuan ini terus membudaya sampai sang pahlawan emansipasi, R.A Kartini mengangkat derajat perepmpuan melalui perjuangannya dalam buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanitanegeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan 'Sekolah Kartini' di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Kemudian, semangat Kartini diwariskan pada pejuang menasipasi lainnya seperti Dewi sartika dengan buku “Kautaman Istri”, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan pahlawan perempuan lainnya.
Melalui perjuangan para pahlawan tersebut, perempuan kini dapat memiliki hak yang setara dengan kaum laki-laki, sheingga perempuan dapat bekrjea, menempuh pendidikan serta menududuki jabatan namun tetap dengan kodratnya sebagai perempuan.
Peran wanita untuk membangun sebuah bangsa tentu saja mutlak diperlukan, hal ini didasari oleh berbagai macam kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh wanita itu sendiri baik secara general maupun individual. Ruang apresiasi bagi para kaum wanita saat ini telah diberikan dan semakin terbuka, wanita telah diberikan kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya dalam pembangunan suatu bangsa. Terbukti pemerintah saat ini juga telah menyediakan program Pemberdayaan Perempuan untuk meningkatkan status, posisi dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan  laki-laki agar dapat membangun anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan bertaqwa serta terlindungi.
Salah satu indikator integrasi perempuan dalam pembangunan adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan disemua bidang lapangan kerja sebagai politikus, PNS, karyawan, buruh perusahaan termasuk petani, hingga tahun 1998 saja mencapai 40,2 persen. Tentu hal itu akan terus bertambah setiap tahunnya. Saat ini, sudah sangat banyak tokoh-tokoh wanita yang ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan bangsa.  Bahkan Jokowi telah melantik 8 menteri perempuan di kabinet kerjanya saat ini. Mereka adalah Rini Soemarno ( Menteri Badan Usaha Milik Negara ) , Siti Nurbaya Bakar ( Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup) , Puan Maharani ( Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ), Nila F Moeloek ( Menteri Kesehatan ), Khofifah Indar Parawansa ( Menteri Sosial), Yohana Yembise ( Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Retno LP Marsudi ( Menteri Luar  Negeri ), dan Susi Pudjiastuti ( Menteri Kelautan dan Perikanan).
Menteri-Menteri tersebut bukan hanya sekedar menjabat, mereka mampu membuktikan eksistensi mereka dengan meraih berbagai macam penghargaan baik ditingkat Nasional, hingga mengharumkan nama Indonesia di Tingkat Internasional. Sebut saja, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar mendapatkan penghargaan internasional dari Internasional Film Festival for Women, Social, Issues, and Zero Discrimination (IFFWSZ), karena perannya yang dianggap cukup besar dalam membuat perubahan di masing-masing bidang yang digeluti. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan ketegasannya juga memiliki prestasi yang tak kalah hebat, ia berhasil dinobatkan sebagai Kanjeng Ratu Ayu (KRAY) Susi Pudjiastutiningrat, dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia juga telah berhasil membuat Indonesia sebagai Negara nomor 1 dalam hal memberantas Illegal Fishing di seluruh dunia. Sungguh prestasi yang luar biasa dan sangat patut untuk dibanggakan.
Beberapa daerah di Indonesia juga pernah dipimpin oleh sosok Bupati / Walikota wanita yang luar biasa. Sebut saja, lliza Saaduddin Djamal (Walikota Banda Aceh, Aceh), Tri Rismaharini ( Walikota Surabaya ),  Cristiany Eugenia Paruntu (Bupati Minahasa Selatan, Sulawesi Utara), Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang Selatan, Banten), Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur) , Indah Putri Indriani (Wakil Bupati Luwu Utara, Sulawesi Selatan), Anna Sophanah (Bupati Indramayu, Jawa Barat), dll.
Bahkan, Indonesia pernah dipimpin oleh Presiden wanita Megawati Soekarnoputri, selama 3 tahun  ( 2001-2004 ).
Menjadi tiang negara membutuhkan kecerdesan intelektual yang tinggi, sehingga kaum wanita wajib belajar dan mengasah kemampuannya untuk berkontribusi dalam pembangunan. Diakui selama ini ada anggapan bahwa kualitas perempuan dalam pembangunan masih sangat rendah, itulah yang menyebabkan peran kaum perempuan tertinggal dalam segala hal. Seharusnya, Kaum wanita di Indonesia juga harus memiliki kepercayaan diri bahwa mereka mampu bersaing dan menjadi subject dalam mebangun bangsanya sendiri, Bangsa Indonesia.
Perempuan masa kini lebih memiliki keleluasaan dalam mengebangkan ekonomi, pendidikan dan politik. Terlebih dengan adanya perkembangan ekonomi digital yang pesat yang memicu para perempuan agar lebih kretaif memanfaatkan peluang.
Dewasa ini, penggunaan media internet sebagai sarana promosi semakin populer.
Berdasarkan data Menteri Komunikasi dan Informatika pada tahun 2015,
pengguna internet di Indonesia mencapai 93,4 juta jiwa. Sebanyak 77% dari
penggunaan internet digunakan untuk mencari informasi produk dan berbelanja
online, pelanggan online shop yang mencapai 8,7 juta orang, dan nilai transaksi
yang diprediksi mencapai US$ 4,89 Miliar pada tahun 2016. Hal ini merupakan
peluang besar untuk dapat mengembangkan potensi prempuan indoensia melalui perkembangan ekonomi digital