Perempuan
Mandiri: Perempuan Masa Kini
Berabad-abad lalu
perempuan erat kaitannnya dengan kaum lemah yang ditakdirkan untuk hidup
sebagai pemeran figuran dan pendukung kaum laki-laki. Sejak dahulu, perempuan
dianggap sebagai gender yang mewarisi takdir utuk hidup mengurus rumah tangga
dengan dibatasi pada akses pendidikan, ekonomi dan jabatan pemerintahan. Adat
istiadat masa lalu membatasi para perempuan untuk tidak belajar, tidak boleh
bekerja diluar rumah serta menduduki jabatan penting di masyarakat.
Kesan lemahnya kaum
perempuan terdapat dalam berbagai tradisi kebudayaan kuno tanah air. Dalam
filosofi jawa, Sejak berabad-abad perempuan di Pulau Jawa hanya difungsikan
sebagai reproduksi dan pemuas nafsu seksual, serta dianggap sebaga pelengkap keberadaan
laki-laki. Ungkapan di masyarakat bahwa aktivitas perempuan hanya seputar sumur,
dapur dan kasur. Ungkapkan oleh masyarakat Pantura Jawa
Barat bahwa “tong luhur-luhur teuing sakola, awewe mah da ka dapur oge. Bentuk
kekerabatan masyarakat Aceh adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan
laki-laki (patriarki). Sistem perkawinan yang berlaku di sebagian adalah jodoh dari luar merge sendiri. Setelah
menikah, berlaku aturan virilokal, yaitu pasangan menetap di kediaman keluarga
laki-laki.
Masyarakat Batak Toba
didasari atas garis keturunan patriarkal. Masyarakat Batak Toba sangat
menjunjung tinggi dengan tradisi patriarkal menempatkan posisi perempuan sangat dihargai
apabila mampu melahirkan anak laki-laki dan dianggap rendah apabila tidak
melahirkan anak laki-laki karena tidak dapat mengabadikan marga.
Perempuan dianggap
lebih rendah daripada laki-laki, dan perempuan bukan merupaka individu yang
bebas dan otonom, namun sebagai sub-ordinat atau perpanjangan tangan laki-laki.
Sistem patriarki yang ada di masyarakat Batak tidak membuat peran perempuan di Suku Batak tidak penting.
Klasifikasi peran dalam
adat dan budaya masyarakat Minangkabau menganut sosial kemasyarakatan dan
penentuan kepala masyarakat hukum adat yang disebut Penghulu Datuk didominasi oleh kaum laki-laki. Sistem
“matrilocal” atau lazim disebut dengan sistem “uxorilocal” yang menetapkan
bahwa suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau
didalam lingkungan kekerabatan istri. Pandangan Gender dalam Budaya Suku Minangkabau.
Dan apabila terjadi perceraian, maka suami harus pergi dari rumah istrinya,
sedangkan istrinya tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya
sebagaimana telah diatur hukum adat. Apabila istrinya meninggal dunia, maka
kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi
duda untuk dibawa kembali ke dalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya.
Sedangkan di suku
Madura, adat dan budaya didasari oleh sitem patriarki dengan menempatkan peran
perempuan yang sudah menikah sebagai ibu rumahtangga, sekaligus pengasuh dan pembimbing
anak-anaknya. Posisi perempuan Madura tetap menggantungkan psikologisnya kepada
keluarga: tidak diperbolehkan mengambil keputusan penting dalam kehidupannya
tanpa berkonsultasi dengan orangtua dan orang-orang penting dalam keluarga
Budaya Suku Timor
didasarkan atas 2 (dua) garis keturunan, sistem perkawinan patrilineal dan
sistem matrilineal. Sistem yang dominan adalah sistem
patrilineal. Sistem patrilineal mengatur bahwa anak laki-lakilah yang berhak menerima warisan, sementara anak perempuan mendapat bagian sejauh diberi kesempatan oleh anak laki-laki. Posisi perempuan dalam sistem parilineal masih terlihat terpinggirkan. Khususnya dalam hal pengambilan keputusan pada musyawarah suku, kaum perempuan tidak memiliki hak atau tidak diberi kesempatan untuk hadir apalagi berpendapat
patrilineal. Sistem patrilineal mengatur bahwa anak laki-lakilah yang berhak menerima warisan, sementara anak perempuan mendapat bagian sejauh diberi kesempatan oleh anak laki-laki. Posisi perempuan dalam sistem parilineal masih terlihat terpinggirkan. Khususnya dalam hal pengambilan keputusan pada musyawarah suku, kaum perempuan tidak memiliki hak atau tidak diberi kesempatan untuk hadir apalagi berpendapat
Suku Sumba didasari
oleh budaya patriarki yang mengutamakan laki-laki sebagai pihak yang menguasai dan
perempuan sebagai pihak yang dikuasai. Sistem paternalistik yang sangat kuat
ini ditunjukkan oleh adanya sistem pembagian warisan harta benda, yaitu anak
laki-laki dapat menerima warisan harta benda langsung dari kakeknya tanpa harus
melalui ayah dari anak laki-laki tersebut Pandangan Gender dalam Budaya Suku Sumba.
Posisi perempuan sangat lemah pada budaya Suku Sumba yang dicerminkan bahwa
anak perempuan tidak perlu disekolahkan setinggi-tingginya apabila dalam sebuah
keluarga ada anak laki-laki
Tradisi pengekangan perempuan ini terus membudaya sampai
sang pahlawan emansipasi, R.A Kartini mengangkat derajat perepmpuan melalui
perjuangannya dalam buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku itu
menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia
dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di
atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis
di Jepara dan Rembang.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad
20, wanita-wanitanegeri
ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk
memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan
menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan
bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai
seorang wanita,
juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria,
serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda,
akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan
kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di
Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat
menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana
kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S.
(Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun
dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat
kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan
sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan
sampai tiba saatnya untuk menikah.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya
diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah
anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga
biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad
untuk memajukan wanita bangsanya,
Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui
pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan
mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah
tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.
Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri
berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya
bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda
pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak
tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut,
orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat,
seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya,
bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di
Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah.
Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya
dengan mendirikan 'Sekolah Kartini' di tempat masing-masing seperti di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut
kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa
Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa
yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong
kemajuan wanita Indonesia
karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi
kaum wanita Indonesia
di kemudian hari.
Kemudian, semangat Kartini
diwariskan pada pejuang menasipasi lainnya seperti Dewi sartika dengan buku
“Kautaman Istri”, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan pahlawan perempuan lainnya.
Melalui perjuangan para
pahlawan tersebut, perempuan kini dapat memiliki hak yang setara dengan kaum
laki-laki, sheingga perempuan dapat bekrjea, menempuh pendidikan serta
menududuki jabatan namun tetap dengan kodratnya sebagai perempuan.
Peran wanita untuk membangun
sebuah bangsa tentu saja mutlak diperlukan, hal ini didasari oleh berbagai
macam kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh wanita itu sendiri baik secara
general maupun individual. Ruang apresiasi bagi para kaum wanita saat ini telah
diberikan dan semakin terbuka, wanita telah diberikan kesempatan untuk
menunjukkan eksistensinya dalam pembangunan suatu bangsa. Terbukti pemerintah
saat ini juga telah menyediakan program Pemberdayaan Perempuan untuk
meningkatkan status, posisi dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan
yang setara dengan laki-laki agar dapat membangun anak Indonesia yang
sehat, cerdas, ceria, dan bertaqwa serta terlindungi.
Salah satu indikator integrasi
perempuan dalam pembangunan adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
perempuan disemua bidang lapangan kerja sebagai politikus, PNS, karyawan, buruh
perusahaan termasuk petani, hingga tahun 1998 saja mencapai 40,2 persen. Tentu
hal itu akan terus bertambah setiap tahunnya. Saat ini, sudah sangat banyak
tokoh-tokoh wanita yang ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan bangsa.
Bahkan Jokowi telah melantik 8 menteri perempuan di kabinet kerjanya saat ini.
Mereka adalah Rini Soemarno ( Menteri Badan Usaha Milik Negara ) , Siti
Nurbaya Bakar ( Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup) , Puan Maharani ( Menteri
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ), Nila F
Moeloek ( Menteri Kesehatan ), Khofifah
Indar Parawansa ( Menteri Sosial), Yohana
Yembise ( Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Retno LP
Marsudi ( Menteri Luar Negeri ), dan Susi
Pudjiastuti ( Menteri Kelautan dan Perikanan).
Menteri-Menteri tersebut bukan
hanya sekedar menjabat, mereka mampu membuktikan eksistensi mereka dengan
meraih berbagai macam penghargaan baik ditingkat Nasional, hingga mengharumkan
nama Indonesia di Tingkat Internasional. Sebut saja, Menteri Sosial Khofifah
Indar Parawansa dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar
mendapatkan penghargaan internasional dari Internasional Film Festival for
Women, Social, Issues, and Zero Discrimination (IFFWSZ), karena perannya yang
dianggap cukup besar dalam membuat perubahan di masing-masing bidang yang
digeluti. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan
ketegasannya juga memiliki prestasi yang tak kalah hebat, ia berhasil
dinobatkan sebagai Kanjeng Ratu Ayu (KRAY) Susi Pudjiastutiningrat,
dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia juga telah berhasil membuat
Indonesia sebagai Negara nomor 1 dalam hal memberantas Illegal Fishing di
seluruh dunia. Sungguh prestasi yang luar biasa dan sangat patut untuk
dibanggakan.
Beberapa daerah di Indonesia
juga pernah dipimpin oleh sosok Bupati / Walikota wanita yang luar biasa. Sebut
saja, lliza Saaduddin Djamal (Walikota Banda Aceh, Aceh), Tri Rismaharini (
Walikota Surabaya ), Cristiany Eugenia Paruntu (Bupati Minahasa Selatan,
Sulawesi Utara), Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang
Selatan, Banten), Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur) , Indah Putri Indriani (Wakil Bupati Luwu Utara, Sulawesi Selatan),
Anna Sophanah (Bupati Indramayu, Jawa Barat), dll.
Bahkan, Indonesia pernah
dipimpin oleh Presiden wanita Megawati Soekarnoputri, selama 3 tahun (
2001-2004 ).
Menjadi tiang negara
membutuhkan kecerdesan intelektual yang tinggi, sehingga kaum wanita wajib
belajar dan mengasah kemampuannya untuk berkontribusi dalam pembangunan. Diakui
selama ini ada anggapan bahwa kualitas perempuan dalam pembangunan masih sangat
rendah, itulah yang menyebabkan peran kaum perempuan tertinggal dalam segala
hal. Seharusnya, Kaum wanita di Indonesia juga harus memiliki kepercayaan
diri bahwa mereka mampu bersaing dan menjadi subject dalam mebangun bangsanya
sendiri, Bangsa Indonesia.
Perempuan masa kini
lebih memiliki keleluasaan dalam mengebangkan ekonomi, pendidikan dan politik.
Terlebih dengan adanya perkembangan ekonomi digital yang pesat yang memicu para
perempuan agar lebih kretaif memanfaatkan peluang.
Dewasa ini,
penggunaan media internet sebagai sarana promosi semakin populer.
Berdasarkan data Menteri Komunikasi dan Informatika pada tahun 2015,
pengguna internet di Indonesia mencapai 93,4 juta jiwa. Sebanyak 77% dari
penggunaan internet digunakan untuk mencari informasi produk dan berbelanja
online, pelanggan online shop yang mencapai 8,7 juta orang, dan nilai transaksi
yang diprediksi mencapai US$ 4,89 Miliar pada tahun 2016. Hal ini merupakan
peluang besar untuk dapat mengembangkan potensi prempuan indoensia melalui perkembangan ekonomi digital
Berdasarkan data Menteri Komunikasi dan Informatika pada tahun 2015,
pengguna internet di Indonesia mencapai 93,4 juta jiwa. Sebanyak 77% dari
penggunaan internet digunakan untuk mencari informasi produk dan berbelanja
online, pelanggan online shop yang mencapai 8,7 juta orang, dan nilai transaksi
yang diprediksi mencapai US$ 4,89 Miliar pada tahun 2016. Hal ini merupakan
peluang besar untuk dapat mengembangkan potensi prempuan indoensia melalui perkembangan ekonomi digital